Makalah Filsafat Ilmu
Pengertian Epistemologi Bayani, Burhani, dan Irfani | Makalah Kuliah Filsafat Ilmu | Makalah
Kuliah Filsafat Umum
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang asal muasal, sumber, metode, struktur, dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Landasan epistemologi ilmu tercermin secara operasional dalam metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan, kerangka pemikiran yang logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun, menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut, melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran pernyataannya secara factual. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984/1985, hlm. 9).[1]
Epistemologi adalah teori pengetahuan yang membahas berbagai segi pengetahuan seperti kemungkinan, asal mula sifat alami, batas-batas, asumsi dan landasan, validitas dan realibilitas sampai soal kebenaran.[2]
Oleh karena itu, epistemologi ini menempati posisi yang sangat strategis, karena ia membicarakan tentang cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Mengetahui cara yang benar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan hasil yang ingin dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan. Pada kelanjutannya kepiawaian dalam menentukan epistemologi, akan sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu pengetahuan yang dihasilkan.
Islam dalam kajian pemikirannya menggunakan beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi), ada tiga model sistem berpikir dalam Islam, yakni bayani, irfani dan burhani yang masing-masing mempunyai pandangan yang berbeda tentang pengetahuan. Ketiga sistem atau pendekatan tersebut dikenal juga tiga aliran pemikiran epistemologi Barat dengan bahasa yang berbeda, yakni empirisme, rasionalisme dan intuitisme.
Di dalam empirisme, pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan, baik pengalaman yang batiniah maupun yang lahiriah. Akal bukan jadi sumber pengetahuan, tetapi akal mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman.
Di dalam rasionalisme, sumber pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu syarat yang dipakai oleh semua pengetahuan ilmiah.
Sedangkan di dalm intuitisme, suatu kegiatan berpikir yang nonanalitik yang tidak mendasarkan diri kepada suatu pola piker tertentu. Berpikir ini memegang peranan yang penting dalam masyarakat yang berpikir nonanalitik, yang kemudian sering bergalau dengan perasaan.[3]
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan epistemologi bayani, burhani dan irfani?
2. Bagaimana sejarah kemunculan dan perkembangan epistemologi bayani, burhani dan irfani?
3. Apa saja keunggulan dan keterbatasan epistemologi bayani, burhani dan irfani?
1.3.Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah di rumuskan tujuan yang hendak di capai ini adalah:
1. Untuk mengetahui epistemologi bayani, burhani, dan irfani.
2. Untuk mengetahui sejarah kemunculan dan perkembangan epistemologi, bayani, burhani, dan irfani.
3. Untuk mengetahui keunggulan dan keterbatasan epistemologi bayani, burhani, dan irfani.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Epistemologi Bayani, Burhani, dan Irfani
· Epistemologi Bayani
Bayani adalah suatu epistemologi yang mencakup disiplin-disiplin ilmu yang berpangkal dari bahasa arab yaitu nahwu, fikih dan usul fikih, kalam dan balagho. Masing-masing disiplin ilmu ini terbentuk dari sistem kesatuan bahasa yang mengikat basis-basis penalarannya. Epistemologi ini dapat dipahami dari tiga segi yaitu segi aktivitas ilmu pengetahuan, diskursus pengetahuan dan sistem pengetahuan. Sebagai aktivitas pengetahuan bayani berarti tampak menampakkan dan paham memahamkan. Sebagai diskursus pengetahuan bayani berarti dunia pengetahuan yang dibentuk oleh ilmu arab islam murni yaitu ilmu bahasa dan ilmu agama. Sementara itu sebagai sistem pengetahuan bayani berarti kumpulan dari prinsip-prinsip, konsep-konsep dan usaha-usaha yang menyebabkan dunia pengetahuan terbentuk tanpa disadari.
Dengan demikian, epistemologi bayani pada dasarnya telah digunakan oleh para pakar fiqhi, Theologdan Pakar ushul al-fiqhi. Di mana mereka menggunkan bayani untuk:
a. Memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung atau dikehendaki dalam lafaz, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zahir dari lafaz yang zahir pula.
b. Pengkajian hukum-hukum dari al-Qur'an dan Hadis.[4]
· Epistemologi Burhani
Al-burhan berati argumen yang pasti dan jelas. Dalam pengertian yang sempit burhani adalah aktifitas pikir untuk menetapkan kebenaran pernyataan melalui metode penalaran, yakni dengan mengikatkan pada ikatan yang kuat dan pasti dengan pernyataan lain secara aksiomatik. Sedangkan dalam pengertian yang luas burhani adalah setiap aktivitas pikir untuk menetapkan kebenaran pernyataan.
Dalam filsafat, baik filsafat Islam maupun filsafat Barat istilah yang seringkali digunakan adalah rasionalisme (burhani) yaitu aliran ini menyatakan bahwa akal (reason) merupakan dasar kepastian dan kebenaran pengetahuan, walaupun belum didukung oleh fakta empiris.[5]
· Epistemologi Irfani
Kata Irfan (gnose/gnosis) adalah bentuk mashdar dari 'arafah yang berarti pengetahuan, 'ilm dan al hikmah. Kemudian kata tersebut lebih dikenal sebagai terminologi mistik dengan ma'rifah dalam pengertian pengetahuan tentang Tuhan. Pengetahuan eksoterik adalah pengetahuan yang diperoleh melalui indera dan intelek melalui istidlal, nazar dan burhan, sedangkan pengetahuan irfan (pengetahuan esoterik) adalah pengetahuan yang diperoleh qalb melalui kasyf, ilham dan 'iyan (persepsi langsung).
Dalam filsafat, irfani lebih dikenal dengan istilah intuisi. Dengan intuisi, manusia memperoleh pengetahuan secara tiba-tiba tanpa melalui proses penalaran tertentu. Ciri khas intuisi antara lain : (rasa) yaitu melalui pengalaman langsung, kehadiran objek dalam diri subjek, dan eksistensial yaitu tanpa melalui kategorisasi akan tetapi mengenalnya secara intim. Henry Bergson menganggap intuisi merupakan hasil dari evolusi pemikiran yang tertinggi, tetapi bersifat personal.[6]
2.2. Sejarah Kemunculan Dan Perkembangan Epistemologi, Bayani, Burhani, dan Irfani
· Epistimologi Bayani
Secara etimologi, bayani mempunyai arti menyambung, memisah-misahkan, terang dan jelas, kefasihan dan kemampuan dalam menyampaikan, serta kekuatan untuk menerima dan menyampaikan kejelasan.
Sedangkan secara terminologi, dengan mengutip pendapat al-Jahiz dalam kitabnya al-Bayan wa al-Tabyin, al-Jabiri mengartikannya sebagai nama universal (ism jami’) bagi setiap pemahaman makna, sedangkan apabila merujuk kepada pendapat al-Syafi’i, bayani merupakan nama universal bagi makna-makna yang terdapat dalam kumpulan landasan pokok (al-ashl) dan mengurai cabang (al-furu’).
Bayani adalah suatu epistemologi yang mencakup disipiln-disiplin ilmu yang berpangkal dari bahasa Arab (yaitu nahwu, fikih dan ushulfikih, kalam dan balaghah).
Dalam sejarahnya, aktivitas bayani sudah dimulai sejak munculnya pengaruh Islam, tetapi belum merupakan kajian ilmiah seperti identifikasi keilmuan dan peletakkan aturan penafsiran teks. Tahap selanjutnya adalah mulai munculnya usaha untuk meletakkan aturan penafsiran wacana bayani, tetapi masih terbatas pada pengungkapan karakteristik ekspresi bayani dalam AL Qur’an. Dalam bahasa Arab sendiri bayani terbatas pada tinjauan bahasa dan gramatikanya saja. Proses peletakan aturan-aturan penafsiran wacana bayani (dalam bentuknya yang baku dan tidak dalam aspek linguistiknya saja) dilakukan oleh Imam al Syafi’i. Imam Syafi’I adalah orang yang pertama memposisikan al Sunnah sebagai nash kedua. Nash tersebut berfungsi sebagai mushari’ (penetap hukum), perluasan cakupan al Sunnah yang dengan tidak secara tegas membedakan antara “sunnah-tradisi” dan “sunnah-wahyu” serta pembatasan ruang gerak ijtihad dengan nash (Al Qur’an dan Al Sunnah).
Dalam sejarahnya, aktivitas bayani sudah dimulai sejak munculnya pengaruh Islam, tetapi belum merupakan kajian ilmiah seperti identifikasi keilmuan dan peletakkan aturan penafsiran teks. Tahap selanjutnya adalah mulai munculnya usaha untuk meletakkan aturan penafsiran wacana bayani, tetapi masih terbatas pada pengungkapan karakteristik ekspresi bayani dalam AL Qur’an. Dalam bahasa Arab sendiri bayani terbatas pada tinjauan bahasa dan gramatikanya saja. Proses peletakan aturan-aturan penafsiran wacana bayani (dalam bentuknya yang baku dan tidak dalam aspek linguistiknya saja) dilakukan oleh Imam al Syafi’i. Imam Syafi’I adalah orang yang pertama memposisikan al Sunnah sebagai nash kedua. Nash tersebut berfungsi sebagai mushari’ (penetap hukum), perluasan cakupan al Sunnah yang dengan tidak secara tegas membedakan antara “sunnah-tradisi” dan “sunnah-wahyu” serta pembatasan ruang gerak ijtihad dengan nash (Al Qur’an dan Al Sunnah).
Al Syafi’I berhasil membakukan cara-cara berfikir yang menyakut hubungan antaralafaz dan makna serta hubungan antara bahasa dan teks al-Qur’an. Ia juga merumuskan aturan-aturan bahasa Arab sebagai acuan untuk menafsirkan al-Qur’an.Ijma dan Qiyas sebagai sumber penalaran yang absah untuk menjawab persoalan-persoalan dalam masyarakat.
Sedangkan al-Jahiz berusaha mengembangkan bayani tidak hanya terbatas pada “memahami” tetapi berusaha membuat pendengar atau pembaca faham akan wacana. Bahkan ia ingin membuat pendengar memahami, menenangkan pendengar, menuntaskan perdebatan dan membuat lawan bicara tidak berkutik lagi. Ibn Wahab sendiri berusaha untuk mensistematikanya dengan cara merumuskan kembali teori bayani sebagai metode dan sistem mendapatkan pengatahuan.
Jadi pada kesimpulannya dalam epistimologi bayani sumber pengetahuan berasal dari teks atau nash. Pendekatan yang digunakan adalah dengan pendekatan lughawiyah. Sementara metode yang dipakai adalah qiyas, istinbat, tajwiz, ‘adah. Sehingga peran akal disini memang terjustifikasi karena menggunakan argumen yang bersifat jadaliyyah. Sesuatu dapat dikatakan valid jika adanya kedekatan teks dan kenyataan.
Dalam bahasa filsaat yang disederhanakan, pendekatan bayani dapat diartikan sebagai Model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks sucilah yang memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran sebuah kitab. Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya.
Dalam pendekatan bayani, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi. Dalam aplikasinya, pendekatan bayani akan memperkaya lilmu fikih dan ushul fikih, lebih-lebih qawaidul lughahnya.
Namun, hal itu berarti bukan tanpa kelemahan. Kelemahan mencolok pada Nalar Bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang berbeda, milik komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya. Karena otoritas ada pada teks, dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain.
· Epistemologi Irfani
Kata ‘irfan adalah bentuk masdar dari kata ‘arafa yang berarti ma’rifah (ilmu pengetahuan). Kemudian ‘irfan lebih dikenal sebagai terminology mistik yang secara khusus berarti “ma’rifah” dalam pengertian “pengetahuan tentang Tuhan”. Kalau ilmu (pengetahuan eksoterik) yakni pengetahuan yang diperoleh indera dan intelek melalui istidlal, nazhar, dan burhan, maka ‘irfan (pengetahuan esoterik) yaitu pengetahuan yang diperoleh qalb melalui kasyf, ilham, i’iyan (persepsi langsung), dan isyra.
Aliran-aliran yang beragam dalam dunia Sufisme atau Irfan memiliki kesatuan pandangan dalam permasalahan yang esensial dan substansial ini dimana mereka menyatakan bahwa pencapaian dan penggapaian hakikat segala sesuatu hanya dengan metode intuisi mistikal dan penitian jalan-jalan pensucian jiwa, bukan dengan penalaran dan argumentasi rasional, karena hakikat suatu makrifat dan pengatahuan adalah menyelami dan meraih hakikat segala sesuatu lewat jalur penyingkapan, penyaksian, intuisi hati, manifestasi-manifestasi batin, dan penyaksian alam metafisika atau alam nonmateri dengan mata batin serta penyatuan dengannya.
Para sufi beranggapan bahwa segala makrifat dan pengetahuan yang bersumber dari intuisi-intuisi, musyahadah, dan mukasyafah lebih dekat dengan kebenaran daripada ilmu-ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi rasional dan akal. Mereka menyatakan bahwa indera-indera manusia dan fakultas akalnya hanya menyentuh wilayah lahiriah alam dan manifestasi-manifestasi-Nya, namun manusia dapat berhubungan secara langsung (immediate) yang bersifat intuitif dengan hakikat tunggal alam melalui dimensi-dimensi batiniahnya sendiri dan hal ini akan sangat berpengaruh ketika manusia telah suci,lepas, dan jauh dari segala bentuk ikatan-ikatan dan ketergantungan-ketergantungan lahiriah.
· Epistemologi Burhani
Al-Burhan dalam bahasa Arab berarti argumen yang clear . Dalam pengertian logika, al-burhan adalah aktivitas fikir yang menetapkan kebenaran sesuatu melalui penalaran dengan mengkaitkan pada pengetahuan yang bukti-buktinya mendahului kebenaran. Sedangkan dalam pengertian umum, al-burhan berarti aktivitas fikir untuk menetapkan kebenaran sesuatu.
Al-Jabiri menggunakan burhani sebagai sebutan terhadap sistem pengetahuan yang berbeda dengan metode pemikiran tertentu dan memiliki world view tersendiri, yang tidak bergantung pada hegemoni sistem pengetahuan lain. Burhani mengandalkan kekuatan indera, pengalaman, dan akal dalam mencapai kebenaran.
Ketiga kecenderungan epistemologis islam ini, secara teologis mendapatkan justifikasi dari al-Qur’an. Dalam al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang pengetahuan yang bersumber pada rasionalitas. Perintah untuk menggunakan akal dengan berbagai macam bentuk kalimat dan ungkapan merupakan suatu indikasi yang jelas untuk hal ini. Akan tetapi, meskipun demikian, tidak sedikit pula paparan ayat-ayat yang mengungkapkan tentang pengetahuan yang bersumber pada intuisi (hati atau perasaan) terdalam.
Van Peursen mengatakan bahwa akal budi tidak dapat menyerap sesuatu, dan panca indera tidak dapat memikirkan sesuatu. Namun, bila keduanya bergabung timbullah pengetahuan, sebab menyerap sesuatu tanpa dibarengi akal budi sama dengan kebutaan, dan pikiran tanpa isi sama dengan kehampaan. Burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.) dan metode diskursif (bathiniyyah). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian.
Lepasnya pemahaman atas teks dari realita (konteks) yang mengitarinya, menurut Nasr Abu Zayd, akan menimbulkan pembacaan yang ideologis dan tendensius (qira’ah talwiniyah mughridlah).
Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtimaiyyah) dan realitas budaya (thaqafiyyah). Dalam pendekatan ini teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan.
2.3. Keunggulan Dan Keterbatasan Epistemologi Bayani, Burhani, dan Irfani
Pada prinsipnya, Islam telah memiliki epistemologi yang komprehensif sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja dari tiga kecenderungan epistemologis yang ada (bayani, burhani dan irfani), dalam perkembangannya lebih didominasi oleh corak berpikir bayani yang sangat tekstual dan corak berpikir irfani (kasyf) yang sangat sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada penggunaan rasio secara optimal.
Keunggulan bayani terletak pada kebenaran teks (al-Qur’an dan Hadis) sebagai sumber utama hukum Islam yang bersifat universal sehingga menjadi pedoman dan patokan.
Dalam epistemologi bayani sebenarnya ada penggunaan rasio, akan tetapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks yang ada. Penggunaan yang terlalu dominan atas epistemologi ini telah menimbulkan stagnasi dalam kehidupan beragama, karena ketidak mampuannya merespon perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan epistemologi bayani selalu menempatkan akal menjadi sumber sekunder, sehingga peran akal menjadi terpasung di bawah bayang-bayang teks, dan tidak menempatkannya secara sejajar, saling mengisi dan melengkapi dengan teks.
Sistem berpikir yang konstruksi epistemologinya dibangun di atas semangat akal dan logika dengan beberapa premis merupakan keunggulan epistemologi burhani.
Namun Kendala yang sering dihadapi dalam penerapan pendekatan ini adalah sering tidak sinkronnya teks dan realitas. Produk ijtihadnya akan berbeda jika dalam pengarusutamaan teks atau konteks. Masyarakat lebih banyak memenangkan teks daripada konteks, meskipun yang lebih cenderung kepada kontekspun juga tidak sedikit.
Di antara keunggulan irfani adalah bahwa segala pengetahuan yang bersumber dari intuisi-intuisi, musyahadah, dan mukasyafah lebih dekat dengan kebenaran dari pada ilmu-ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi rasional dan akal. Bahkan kalangan sufi menyatakan bahwa indera-indera manusia dan fakultas akalnya hanya menyentuh wilayah lahiriah alam dan manifestasi-manifestasinya, namun manusia dapat berhubungan secara langsung (immediate) yang bersifat intuitif dengan hakikat tunggal alam (Allah) melalui dimensi-dimensi batiniahnya sendiri dan hal ini akan sangat berpengaruh ketika manusia telah suci, lepas, dan jauh dari segala bentuk ikatan-ikatan dan ketergantungan-ketergantungan lahiriah.[7]
Namun kendala atau keterbatasan irfani antara lain adalah bahwa ia hanya dapat dinikmati oleh segelintir manusia yang mampu sampai pada taraf pensucian diri yang tinggi. Di samping itu, irfani sangat subjektif menilai sesuatu karena ia berdasar pada pengalaman individu manusia.
Metode kasyf dalam kritik epistemologi, bukanlah suatu pola yang berada di atas akal, seperti yang diklaim irfaniyyun. Bahkan ia tidak lebih dari sekedar pemikiran yang paling rendah dan bentuk pemahaman yang tidak terkendali. Irfaniyyun masuk ke alam mistis yang telah ada dalam pemikiran agama-agama Persi kuno, yang dikembangkan pemikir-pemikir Hermeticism. Apa yang mereka alami “ mungkin benar “ atau barangkali “kebenaran karena kebetulan “, akan tetapi tidak akan dapat menyelesaikan masalah.
Pendekatannya yang supra-rasional, menafikan kritik atas nalar, serta pijakannya pada logika paradoksal yang segalanya bisa diciptakan tanpa harus berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya, mengakibatkan epistemologi ini kehilangan dimensi kritis dan terjebak pada nuansa magis yang berandil besar pada kemunduran pola pikir manusia.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Untuk memahami sebuah kebenaran tidak cukup hanya dengan memiliki satu corak berfikir saja. Dibutuhkan sinergi antara tiga corak berfikir diatas. Akan tetapi harus diakui bahwa antara ketiga corak berfikir ini memiliki kontradiksi yang saling menjatuhkan. Oleh karenanya, sinergi yang diharapkan adalah sebuah sinergi yang moderat. Ada pada tiap corak berfikir diatas yang diambil dan ditolak. Maka keadilan menjadi sikap yang harus dimiliki seserorang dalam memilah dan memilih postulat-postulat tersebut.
Perpaduan antara pikiran yang brilian yang dipadu dengan hati yang jernih, akan menjadikan Iptek yang dimunculkan kelak tetap terarah tanpa menimbulkan dehumanisasi yang menyebabkan manusia teralienasi [terasing] dari lingkungannya. Kegersangan yang dirasakan oleh manusia modern saat ini, karena Iptek yang mereka munculkan hanya berdasarkan atas rasionalitas belaka, dan menafikan hati atau perasaan yang mereka miliki. Mereka menuhankan Iptek atas segalanya, sedang potensi rasa/jiwa mereka abaikan, sehingga mereka merasa ada sesuatu yang hilang dalam diri mereka.
Keseimbangan antara pikiran dan rasa ini menjadi penting karena secanggih apapun manusia tidak dapat menciptakan sesuatu. Keduanya adalah pilar peradaban yang tahan bantingan sejarah. Keduanya adalah perwujudan iman seorang muslim. Umat yang berpegang kepada kedua pilar ini disebut al Qur’an sebagai ‘ulu al-albab. Di samping mampu menintegrasikan kekuatan fikr dan zikr, juga mampu pula mengembangkan kearifan yang menurut al Qur’an dinilai sebagai khairan kasiran.
Perpaduan antara pikiran dan rasa ini merupakan prasyarat mutlak dalam membangun peradaban Islam dan dunia yang cemerlang.
DAFTAR PUSTAKA
· Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara, 2007.
· The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu. Bandung : The Science and Tecnolody Stues Foundation, 1987.
· Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Penebar Swadaya, 2007.
· Muhammad Kurdi, Pendekatan Bayani, Burhani dan Irfani dalam Ranah Ijtihadi Muhammadiyah, 2008.
· Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan. Surabaya : Usaha Nasional, 1989.
· Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam. Bandung : Mizan, 2003.
· Mohammad Adlany, Esensi Pengetahuan dalam Irfani,2009.
[1]Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia,2007, hal. 25.
[2]The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, 1987, hal. 83.
[3]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar,2007, hal. 44.
[4]Muhammad Kurdi, Pendekatan Bayani, Burhani dan Irfani dalam Ranah Ijtihadi Muhammadiyah, 2008, hal. 97
[5]Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, 1989, hal. 136.
[6]Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam, 2003), hal. 60-61.
[7]Mohammad Adlany, Esensi Pengetahuan dalam Irfan. 2009, hal. 133.